Senin, 23 November 2009

Untuk apa menjadi Walikota Manado ?

Taufiq Pasiak

Dua hari yang lalu saya bertemu dengan seorang kawan yang hendak mengajukan diri sebagai calon walikota Manado pada tahun 2010 nanti. Kami bertemu di sebuah restoran Cina di pinggiran pantai, dengan pemandangan laut dan gunung yang sungguh sangat indah. Diselingi dengan menu bebek panggang, siomai dan teh poci yang sangat enak, kami berdiskusi soal Manado di masa depan. Bagi saya, ini hal yang sangat biasa, karena berdiskusi soal Manado, memang menjadi menu menarik akhir-akhir ini.

Bedanya, kali ini saya berdiskusi dengan seorang anak muda yang tak berbeda jauh umurnya dengan saya. Perbedaan umur yang tak terlampau jauh ini memungkinkan kami berdiskusi hal-hal serius tanpa melupakan hal-hal ringan lain yang menjadi ciri khas anak muda. Saya salut terhadap cara dia memandang persoalan. Baginya, paradigma berpikir orang Manado harus segera mengalami perubahan. Dengan memberikan sentuhan pada bidang ekonomi—yang memang sudah menjadi perhatiannya bertahun-tahun sebagai pengusaha—paradigma berpikir akan cepat mengalami perubahan. “kesejahteraan hidup akan lebih cepat memberikan cara pandang yang baik terhadap kehidupan,” katanya. Meski saya memiliki pendapat berbeda soal dari mana harus memulai, saya menemukan kesamaan bahwa ada urgensi bahwa mengubah paradigma berpikir merupakan hal yang sangat penting bagi orang Manado.

“Saya mencoba mencalonkan diri sebagai walikota Manado tidak untuk mendapat pengawal, kendaraan pengawal, atau kemewahan-kemewahan yang lain sebagai walikota”, katanya. “kalau cuma untuk itu saya bisa memenuhinya tanpa perlu menjadi walikota,” lanjutnya. Diskusi yang berlangsung lebih sedikit dari 1 jam itu membuat saya berkesimpulan bahwa kawan ini memang memiliki keinginan yang luhur untuk memberikan apa yang dimilikinya bagi Kota Manado. Memimpin Kota Manado yang plural dan segala dinamikanya sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Utara memang membutuhkan tidak sekadar kemampuan finansial, leadership, lobi-lobi, dan segala tetak bengek kemampuan yang dimiliki. Belajar dari pengalaman selama ini menjadi pemimpin juga harus mengacu pada niat atau motivasi yang harus dibangun sejak awal. Saya meletakkan jawaban kawan ini dalam kerangka berpikir seperti ini. Artinya, niat awal ketika seseorang melakukan sesuatu adalah hal paling penting dari sebuah tindakan.

Menjadi bermakna bagi orang lain adalah salah satu motivasi yang mendorong banyak pemimpin atau tokoh terkenal untuk lebur dalam sesuatu yang sering tak menyenangkan. Kebanyakan orang yang berkelimpahan, entah dalam bentuk kelimpahan materi maupun kelimpahan ilmu, hampir selalu mencari saluran bagi kelimpahan itu. Tapi mengapa (1) harus kekuasaan? Harus sebuah kekuasaan politik? Mengapa tidak menjadi seperti Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, Muhammad Yunus, atau orang-orang suci lainnya, yang menjadi bermakna bagi banyak orang tanpa perlu menjadi penguasa? Kekuasaan memiliki sifat memaksa yang powerfull, begitu saya dengar dari seorang kawan yang menekuni ilmu politik. Dengan sekali ketuk, maka sebuah kebijakan yang lahir dari seorang penguasa akan memengaruhi banyak orang, banyak aspek dari kehidupan. Anda bayangkan bagaimana sebuah surat keputusan yang ditandatangani oleh seorang penguasa akan mengubah banyak segi dari kehidupan. Sejarah dapat berubah arah hanya karena titah seorang penguasa. Amerika dan Barack Obama adalah sebuah contoh mutakhir bagaimana kekuasaan dapat mengubah sejarah. Dengan menutup kamp tahanan di Guantamo, Obama telah membelokkan arah sejarah yang kelam tentang penindasan atas manusia. Penarikan pasukan Amerika dari Irak adalah sebuah contoh bagus bagaimana kekuasaan bisa sangat powerfull dalam mengubah keburukan menjadi kebaikan. Bahkan, selembaran surat perintah Presiden Soekarno pada tanggal 11 maret 1966, kepada Jenderal Soeharto dapat dianggap sebagai contoh bagus bagaimana kekuasaan dapat mengubah arah sejarah. Pendek kata, selembar surat keputusan yang dibuat dan ditandatangani oleh seorang penguasa akan memiliki pengaruh yang sangat kuat dan besar.

Orang baik yang memiliki niat mulia memberikan kehidupan pantas bagi banyak orang mestinya memiliki kekuasaan. Jika tidak, kekuasaan itu akan jatuh pada mereka yang memiliki motivasi yang berbeda dengan orang baik. Dalam hal ini filsuf Plato benar adanya. Ia berpendapat bahwa negara mesti dipimpin oleh seorang filsuf. Filsuf adalah orang baik dan mestinya kekuasaan dipegang oleh orang baik. Bagi saya, kekuasaan yang dipegang oleh orang baik—tepatnya, orang yang berniat baik—akan mengubah jalan sejarah kepada sejarah kebaikan. Mesti tidak menjadi seorang filsuf seperti kata Plato, penguasa mestinya memiliki niat baik. Masalahnya (2), cukupkah sebuah niat baik untuk membawa kebaikan bagi banyak orang? Bagi saya, itu tidak cukup, meskipun itu sudah jauh lebih baik daripada tak berniat sama sekali. Niat baik harus dibarengi cara yang baik. Mendapatkan kekuasaan dengan cara tak benar meski itu untuk sebuah niat baik, tidaklah dapat dibenarkan. Karena, niat baik kawan saya untuk bertarung sebagai walikota pasti akan memberikan hasil buruk jika kekuasaan yang diperolehnya itu didapat dengan cara tak benar. Ada semacam hukum alam yang berlaku bahwa kebaikan dan keburukan tidak akan pernah bisa dipadukan. Meski perolehan kekuasaan akan melibatkan intrik politik yang berdinamika tinggi, seorang calon pemimpin yang baik mestinya beriktiar untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara terpuji.

Saya tahu betul bahwa pernyataan yang saya sampaikan di atas boleh jadi sesuatu yang absurd, yang tak bermakna dan hanya bernilai pada tataran teoritis saja. Bukankah pada masa kini kekuasaan dapat diperoleh dengan uang banyak? Mereka yang memiliki uang banyak dapat membeli sebuah suara dari seorang rakyat. Ini betul, tetapi uang itu tidak membeli ketundukan, loyalitas, penghargaan dan apalagi penghormatan. Soal Kota Manado, telah ada banyak pelajaran dalam 2 tahun terakhir.

Kekuasaan yang tak memihak rakyat akan hancur dengan sendirinya, dengan caranya sendiri, yang tak pernah bisa dibayangkan. Artinya, meski seorang calon pemimpin membagi uang dan sembakonya yang sangat banyak, tetapi sekali lagi, pemimpin itu tak membeli rasa hormat dari rakyatnya. Saya sendiri menaruh hormat yang sangat tinggi kepada mereka yang tetap berupaya berbuat baik meskipun dengan upaya yang sangat sulit. Sekecil apapun niat yang tertera dalam pikiran, ia akan berwujud dalam tindakan. Karena itu, hati-hatilah dengan apa yang kita niatkan ketika menuju sebuah kekuasaan. Saya berharap niat baik dari sang kawan akan disertai dengan cara-cara yang baik dan santun pula. Dalam kehidupan politik yang carut marut seperti ini adakalanya sebuah kekuasaan dan penguasa dapat lahir dari sesuatu yang tak pernah bisa kita bayangkan, kita duga, kita ukur dan kita ramalkan. (Manado Post 311009, dari Solo)

Mengenal H Taufiq Pasiak

Sepasang suami-istri punya profesi sama: Guru. Kala itu, akhir 1970-an, anak-anak pasangan ini masih kecil. Anak sulungnya belum genap 10 tahun, masih duduk di bangku sekolah dasar. Impiannya masa itu, ketika si bocah memasuki perguruan tinggi, penghasilan mereka sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan si buah hati.

Pasangan suami-istri ini lalu menyusun rencana. Keduanya mesti kuliah agar penghasilan mereka kelak meningkat, seiring dengan perjalanan waktu. Untuk mencapai impian tersebut, apa boleh buat, mereka mesti berupaya mencari tambahan penghasilan. Gaji sebagai guru dirasakan tidak mencukupi.

Di sela-sela waktu mengajar, mereka lalu berjualan rokok di Pasar 45, Manado. Kerap sekali anak sulungnya ikut membantu. Kebetulan, pemilik toko tempat keluarga ini berjualan punya koleksi banyak buku bacaan. Ini yang membuat anak itu kian rajin ikut membantu orangtuanya. Apalagi, pemilik toko tidak pelit meminjamkan buku-buku koleksinya.

Bak oase di tengah gurun pasir, kegemarannya membaca seakan terpenuhi. Anak itu membaca banyak jenis buku, hingga buku-buku yang tergolong berat untuk anak seusianya. ”Hari ini baru saya tahu, buku-buku yang saya baca saat itu termasuk buku-buku yang berat-berat,” kata si anak sulung itu, mengenang.

Taufiq Pasiak, si anak sulung yang hobi membaca itu, akhirnya kuliah di Fakutas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, seusai menyelesaikan pendidikannya di SMA. Kini tiga gelar sarjana mendampingi namanya: dr Taufiq Pasiak MPdI MKes. Ketika ia masuk bangku kuliah, orangtuanya sudah merampungkan kuliahnya. Mimpi orangtua yang dibangun dengan keringat menjelma menjadi kenyataan.

Best seller
Di masa mahasiswa, anak sulung dari enam bersaudara kelahiran Manado, 29 Januari 1970, ini tergolong aktivis. Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Manado, Taufiq kerap membawakan materi nilai identitas kader dalam setiap kegiatan pengkaderan. Materi itu berkaitan dengan otak manusia dan nilai-nilai agama. Perjalanan hidup kemudian membawa staf pengajar FK Unsrat ini kian mendekatkan kedua hal itu: Agama dan kedokteran.

Lulus pada 1996, ia sempat tiga tahun bertugas sebagai dokter PTT di sebuah puskesmas di Minahasa dan enam tahun berpraktik sebagai dokter. Ia pun menempuh pendidikan pascasarjana di dua tempat yang berbeda dan dua disiplin ilmu yang secara diametral bersilangan 180 derajat. Tahun 2001, Taufiq mengikuti Program Pascasarjana di IAIN Alauddin, Makassar, dan memperoleh gelar magister pendidikan Islam (MPdI) pada 2003. Tahun 2002, ia memasuki Program Pascasarjana di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan minat utama pada neuroanatomi (neurosains), suatu disiplin yang mempelajari sistem saraf.

Pemahamannya yang dalam terhadap dua cabang ilmu itu mampu ia urai dengan sistematis. Bukunya, Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosains dan Alquran yang diterbitkan Mizan, 2002, termasuk buku best seller. Dicetak berulang kali. Prof dr JW Siagian, guru besar Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Unsrat menyebut buku ini sebagai kacamata tembus pandang. Sebelah kiri terbuat dari sains kedokteran dan sebelah kanan dari agama.

Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Manado ini juga menulis sejumlah buku. Antara lain, Manajemen Kecerdasan (Mizan, 2005), Membangun Raksasa Tidur (Gramedia, 2004), Brain Management for Self Improvement (Mizan, 2006), dan Otak Rasional – Otak Intuitif (Manado, 1995). Meski telah menyusun sejumlah buku yang berkaitan dengan neurosains dan Alquran, tapi anggata Tanwir PP Muhammadiyah ini tak ingin disebut saintis. ”Saya hanya pemerhati neurosains dan aktivis organisasi,” tutur anggota Pusat Studi Neuropsikobiologi dan Pemuda Lintas Agama Sulawesi Utara (Sulut) ini.

Toh, penerima beasiswa S3 dari The Habibie Center untuk program doktoralnya di UIN Surabaya, ini kerap diundang berbicara dalam berbagai seminar dan pelatihan yang berkaitan dengan otak dan Alquran. Pekan lalu, misalnya, ia berada di Jakarta, berceramah di berbagai tempat. Antara lain di kediaman Menpora Adhyaksa Dault. ”Mind set harus diubah dengan cara berpikir jangka panjang,” ujarnya.

Bagaimana Taufiq melihat kemampuan otak orang Indonesia? Ayah tiga anak dari pernikahannya dengan dr Dewi Utari Djafar ini mengatakan pemanfaatannya masih banyak yang jauh dari maksimal. ”Orang Indonesia tidak lebih dari 10 persen yang mengoptimalkan kapasitas otaknya,” ujar dia.

Taufiq menyatakan ingin ikut mengambil bagian dalam membangun pengembangan dan pemanfaatan potensi otak orang Indonesia. Jalan yang akan ditempuhnya mungkin akan panjang, tapi lebih terarah. ”Saya ingin membangun sekolah,” ucapnya.

Di sekolah itu, dalam bayangan Taufiq, akan memadukan empat kapasitas otak. Yakni mental dan fisik, intelektual, spiritual, dan emosinal. Dari sini diharapkan lahir orang-orang yang kapasitasnya tumbuh dengan baik, orang-orang seperti Ibnu Sina. ”Sekarang saya sedang menabung,” ucapnya.

Sumber : www.republika.co.id